Politik Pertanian dalam Panggung Sandiwara

 

"Kami Tak Sebodoh Itu Pak"

 

Dalam sebuah Mata Kuliah (MK) Kapita Selekta yang pada mata kuliah ini khusus untuk mengkaji pertanian secara umum baik itu dari pengambil kebijakan, ahli dan juga inspirator dari kalangan pengusaha.

 Waktu itu yang diundang adalah perwakilan dari Kementerian Pertanian. Beliau mempresentasikan hasil kinerja yang telah dilakukan oleh kementerian Pertanian plus rancangan yang akan dilakukan. Kami menyimak dengan baik. Intinya begini, periode ini lebih baik dari periode sebelumnya, begitulah kiranya.

 Tibalah pada sebuah slide khusus "Ekspor Perdana Kapas ke Argentina". Kali ini serasa data yang benar-benar tidak wajar (dan masih banyak data-data lainnya). Mencobalah untuk mengcrosscheck, benarlah firasat ini, ternyata data yang didapatkan adalah sebuah kisah miris bahwa kita masih impor kapas, dan itu gak tanggung-tanggung, yaitu 99%.

Mencobalah diri ini mengklarifikasi dengan bertanya secara hormat.

"Pak... data terbaru yang saya dapatkan adalah kita masih impor kapas 99% pak, bisa tolong dijelaskan apakah data yang saya dapatkan salah atau ppt bapak yang keliru?"

Ketika beliau menjawab, poin yang beliau sampaikan adalah, "Betul sekali kita masih impor kapas, bahkan 99,99 ... %, data yang tadi kami sampaikan itu adalah hasil publikasi yang harapannya bisa memacu petani kapas nasional untuk melakukan ekspor", dalam hati miris banget dengar jawabannya beliau ketika pertanian pun dipolitisasi untuk pencitraan. Sekelas yang hari itu hadir, menjadi saksi atas pernyataan beliau.

Jujur saja, dibohongi terus ketahuan itu rasanya "pahit". Belum lagi jika kami ungkap semua data yang disampaikan dalam kuliah itu.

 Akhir kata, hanya ingin berkata "Kami tak Sebodoh itu Pak".


                    Gambar 1 Diskusi di Lingkungan Kampus bersama Petinggi Negara membahasa tentang BBM

Kisah saya dalam diskusi diatas bemaksud ingin menceritakan fenomena-fenomena yang terjadi pada negara berkembang dengan studi kasus negara Indonesia yakni drama memanipulasi data sehingga kegagalan pengaturan kebijakan politik seolah terlihat baik-baik saja tanpa masalah. Sandiwara ini sangat ampuh untuk setidaknya menutup mulut mahasiswa dari kebenaran.

Sasaran utama pemerintah adalah para intelektual yakni mahasiswa, karena kalau dosen biasanya sudah menyadari bahwa beberapa angka yang ditampilkan masih dipertanyakan dan bahkan tidak benar, beberapa ada yang berani speak up, beberapa pula ada yang mencoba untuk mencari aman karena mengemukakan pemikiran dalam kondisi ini akan menuai berbagai tantangan bahkan ancaman.

Pertanyaannya, lalu mengapa mahasiswa? Jawaban untuk pertanyaan ini simpel sebenarnya, karena gerak pemuda yang revolusioner itu sebenarnya membahayakan hingga tataran menggulingkan rezim. Dalam kisah Rasulullah saja, 40 orang pengikut Rasulullah yang didominasi oleh pemuda memberikan kontribusi besar dalam penyebaran Islam pada saat itu.

Di Indonesia, kisah tumbangnya kepemimpinan otoriter Suharto pada 1998, sehingga upaya untuk setidaknya “menyurutkan” tindakan mahasiswa adalah membuatnya berpikir bahwa kondisi pertanian biasa-biasa saja.

Adapun jika ditampilkan masalah, maka utusan pemerintah ini biasanya akan memberikan contoh penyelesaian yang telah dilakukan seperti bantuan alsintan (Alat produksi pertanian), dan lain sebagainya, yang padahal hal tersebut tidak bisa dijamin pendistribusiannya sudah merata atau belum.

Bilamana mahasiswa melakukan aksi, jebakan halus yang biasanya dilakukan adalah mengajak mahasiswa untuk masuk kedalam istana. Yang akhirnya akan berujung kepada tak berdayanya mahasiswa sehingga mengambil sikap untuk pasrah. Hal ini saya rasakan ketika menjadi mahasiswa pergerakan di kampus.

Bagaimana dengan akademisi-akademisi professional seperti dosen dan peneliti? Apakah merasakan jebakan? Tentu saja iya. Bahkan sekiranya tidak ingin terjebak, maka akademisi-akademisi tersebut tidak akan mampu untuk tidak terjebak. Seminimal-minimalnya jebakan tersebut adalah diam ketika kekuasaan-kekuasaan otoriter mengambil kebijakan pertanian atau kebijakan apapun yang menzolimi rakyat.

Sistem salah yang diterapkan meniscayakan akademisi untuk berinovasi dengan tujuan akhir komersialisasi. Apakah bermanfaat? Tentu bermanfaat namun bermanfaat hanya untuk perusahaan. Yang pada akhirnya terciptalah monopolisasi harga atas suatu produk.

Dibalik itu, akademisi diberikan jaminan hidupnya sebagai PNS yang akan diatur oleh negara bahkan opininya sebisa mungkin tidak mencederai rezim atau perusahaan.

Jika itu terjadi maka siaplah pada sistem hukum bathil yang sekarang masih terterapkan juga akan bersandiwara dalam kejamnya politik, yakni ketika hukum terkendalikan dan telah diautomatisasi untuk tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Pada saat saya tingkat 3 di IPB, tepatnya pada kisaran bulan oktober 2018, Pakar sekaligus dosen kami di Fakultas Kehutanan, Prof. Bambang Hero Sharjo digugat oleh PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) karena beliau telah dihadirkan sebagai saksi ahli oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam sidang kasus pembakaran hutan yang dilakukan oleh PT. JJP.

Prof Bambang sebagai saksi ahli menghitung kerugian negara atas kebakaran hutan di Riau yang disebabkan oleh PT Jatim Jaya Perkasa pada tahun 2013. Kasus tersebut kemudian dimenangi oleh KLHK dan PT JJP dinyatakan bersalah serta wajib membayar denda 1 M. merasa keberatan dengan keterangan yang disampaikan oleh Prof. Bambang, PT. JJP pun menggugat balik sang saksi ahli itu hingga Rp 500 M lebih.

Akhirnya gugatan pun dibatalkan oleh Pengadilan Negeri karena banyaknya dukungan untuk beliau melalui petisi-petisi, baik dari mahasisiwa hingga masyarakat yang secara langsung merasakan dampak pembakaran hutan di Riau. Hanya saja ada ungkapan yang begitu menyedihkan dalam sandiwara gugatan ini yakni ketika utusan Humas Pengadilan Negeri menyampaikan,

“Saya tekankan ‘sementara’ karena posisinya baru pencabutan. Kalau suatu saat nanti masuk lagi itu hak dia (PT.JJP). Tapi untuk sementara, kasus ini selesai disini,”[1] dari pernyataan ini kita memahami bahwa kekuatan berada pada perusahaan bukan pada kebenaran.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kusumah (2019) mengungkapkan bahwa suatu aktor yang memiliki kekuasaan paling tinggi dalam sebuah kompetisi perumusan kebijakan cenderung akan memenangkan kompetisi tersebutsehingga kepentingan aktor tersebut tercermin dalam kebijakan yang akan diimplementasikan ke publik. [2]

Akan banyak sandiwara lainnya yang terjadi, seperti bermanis muka untuk dapatkan segepok uang yang sebenarnya kebahagiaannya pun hanya halusinasi. Kita hanya perlu paham, bahwa seelok apapun sandiwara, bisa saja lolos dari pengadilan dunia karena keberlimpahan uangnya untuk membeli hukum, namun ingat, sandiwara tersebut tidak akan pernah mampu untuk lolos dari pengadilan akhirat, suka ataupun tidak sukanya orang tersebut. Karena pengadilan Allah adalah seadil-adilnya pengadilan.



[1] Kronologi Guru Besar IPB Digugat Rp 510 M hingga Munculnya Petisi Bela Prof Bambang, Ini Faktanya. Kompas. https://regional.kompas.com/read/2018/10/25/16542351/kronologi-guru-besar-ipb-digugat-rp-510-miliar-hingga-munculnya-petisi-bela?page=all.

[2] Febian Pratama Kusumah. 2019. Ekonomi Politik dalam Kebijakan Impor Beras: Membaca Arah Kebijakan Pemerintah 2014-2019. POLITIKA: Jurnal Ilmu Politik. Vol 10, No.2.

Komentar

Postingan Populer