Politik Pertanian dalam Panggung Sandiwara
"Kami
Tak Sebodoh Itu Pak"
Dalam sebuah Mata Kuliah (MK) Kapita
Selekta yang pada mata kuliah ini khusus untuk mengkaji pertanian secara umum
baik itu dari pengambil kebijakan, ahli dan juga inspirator dari kalangan
pengusaha.
Mencobalah diri ini mengklarifikasi dengan bertanya secara hormat.
"Pak... data terbaru yang saya
dapatkan adalah kita masih impor kapas 99% pak, bisa tolong dijelaskan apakah
data yang saya dapatkan salah atau ppt bapak yang keliru?"
Ketika beliau menjawab, poin yang beliau sampaikan adalah, "Betul sekali kita masih impor kapas, bahkan 99,99 ... %, data yang tadi kami sampaikan itu adalah hasil publikasi yang harapannya bisa memacu petani kapas nasional untuk melakukan ekspor", dalam hati miris banget dengar jawabannya beliau ketika pertanian pun dipolitisasi untuk pencitraan. Sekelas yang hari itu hadir, menjadi saksi atas pernyataan beliau.
Jujur saja, dibohongi terus ketahuan itu rasanya "pahit". Belum lagi jika kami ungkap semua data yang disampaikan dalam kuliah itu.
Gambar 1 Diskusi di Lingkungan Kampus bersama Petinggi Negara membahasa tentang BBM
Kisah saya dalam diskusi diatas
bemaksud ingin menceritakan fenomena-fenomena yang terjadi pada negara
berkembang dengan studi kasus negara Indonesia yakni drama memanipulasi data
sehingga kegagalan pengaturan kebijakan politik seolah terlihat baik-baik saja
tanpa masalah. Sandiwara ini sangat ampuh untuk setidaknya menutup mulut
mahasiswa dari kebenaran.
Sasaran utama pemerintah adalah para
intelektual yakni mahasiswa, karena kalau dosen biasanya sudah menyadari bahwa
beberapa angka yang ditampilkan masih dipertanyakan dan bahkan tidak benar, beberapa
ada yang berani speak up, beberapa pula ada yang mencoba untuk mencari aman
karena mengemukakan pemikiran dalam kondisi ini akan menuai berbagai tantangan
bahkan ancaman.
Pertanyaannya, lalu mengapa mahasiswa?
Jawaban untuk pertanyaan ini simpel sebenarnya, karena gerak pemuda yang
revolusioner itu sebenarnya membahayakan hingga tataran menggulingkan rezim.
Dalam kisah Rasulullah saja, 40 orang pengikut Rasulullah yang didominasi oleh
pemuda memberikan kontribusi besar dalam penyebaran Islam pada saat itu.
Di Indonesia, kisah tumbangnya
kepemimpinan otoriter Suharto pada 1998, sehingga upaya untuk setidaknya
“menyurutkan” tindakan mahasiswa adalah membuatnya berpikir bahwa kondisi
pertanian biasa-biasa saja.
Adapun jika ditampilkan masalah, maka
utusan pemerintah ini biasanya akan memberikan contoh penyelesaian yang telah
dilakukan seperti bantuan alsintan (Alat produksi pertanian), dan lain
sebagainya, yang padahal hal tersebut tidak bisa dijamin pendistribusiannya
sudah merata atau belum.
Bilamana mahasiswa melakukan aksi,
jebakan halus yang biasanya dilakukan adalah mengajak mahasiswa untuk masuk
kedalam istana. Yang akhirnya akan berujung kepada tak berdayanya mahasiswa
sehingga mengambil sikap untuk pasrah. Hal ini saya rasakan ketika menjadi
mahasiswa pergerakan di kampus.
Bagaimana dengan akademisi-akademisi
professional seperti dosen dan peneliti? Apakah merasakan jebakan? Tentu saja
iya. Bahkan sekiranya tidak ingin terjebak, maka akademisi-akademisi tersebut
tidak akan mampu untuk tidak terjebak. Seminimal-minimalnya jebakan tersebut
adalah diam ketika kekuasaan-kekuasaan otoriter mengambil kebijakan pertanian
atau kebijakan apapun yang menzolimi rakyat.
Sistem salah yang diterapkan meniscayakan
akademisi untuk berinovasi dengan tujuan akhir komersialisasi. Apakah
bermanfaat? Tentu bermanfaat namun bermanfaat hanya untuk perusahaan. Yang pada
akhirnya terciptalah monopolisasi harga atas suatu produk.
Dibalik itu, akademisi diberikan
jaminan hidupnya sebagai PNS yang akan diatur oleh negara bahkan opininya
sebisa mungkin tidak mencederai rezim atau perusahaan.
Jika itu terjadi maka siaplah pada
sistem hukum bathil yang sekarang masih terterapkan juga akan bersandiwara
dalam kejamnya politik, yakni ketika hukum terkendalikan dan telah
diautomatisasi untuk tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Pada saat saya tingkat 3 di IPB,
tepatnya pada kisaran bulan oktober 2018, Pakar sekaligus dosen kami di
Fakultas Kehutanan, Prof. Bambang Hero Sharjo digugat oleh PT Jatim Jaya
Perkasa (JJP) karena beliau telah dihadirkan sebagai saksi ahli oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam sidang kasus pembakaran
hutan yang dilakukan oleh PT. JJP.
Prof Bambang sebagai saksi ahli
menghitung kerugian negara atas kebakaran hutan di Riau yang disebabkan oleh
PT Jatim Jaya Perkasa pada tahun 2013. Kasus tersebut kemudian dimenangi oleh
KLHK dan PT JJP dinyatakan bersalah serta wajib membayar denda 1 M. merasa
keberatan dengan keterangan yang disampaikan oleh Prof. Bambang, PT. JJP pun
menggugat balik sang saksi ahli itu hingga Rp 500 M lebih.
Akhirnya gugatan pun dibatalkan oleh
Pengadilan Negeri karena banyaknya dukungan untuk beliau melalui petisi-petisi,
baik dari mahasisiwa hingga masyarakat yang secara langsung merasakan dampak
pembakaran hutan di Riau. Hanya saja ada ungkapan yang begitu menyedihkan dalam
sandiwara gugatan ini yakni ketika utusan Humas Pengadilan Negeri menyampaikan,
“Saya tekankan ‘sementara’ karena
posisinya baru pencabutan. Kalau suatu saat nanti masuk lagi itu hak dia
(PT.JJP). Tapi untuk sementara, kasus ini selesai disini,”[1]
dari pernyataan ini kita memahami bahwa kekuatan berada pada perusahaan bukan
pada kebenaran.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Kusumah (2019) mengungkapkan bahwa suatu aktor yang memiliki kekuasaan paling
tinggi dalam sebuah kompetisi perumusan kebijakan cenderung akan memenangkan
kompetisi tersebutsehingga kepentingan aktor tersebut tercermin dalam kebijakan
yang akan diimplementasikan ke publik. [2]
Akan banyak sandiwara lainnya yang
terjadi, seperti bermanis muka untuk dapatkan segepok uang yang sebenarnya
kebahagiaannya pun hanya halusinasi. Kita hanya perlu paham, bahwa seelok
apapun sandiwara, bisa saja lolos dari pengadilan dunia karena keberlimpahan
uangnya untuk membeli hukum, namun ingat, sandiwara tersebut tidak akan pernah
mampu untuk lolos dari pengadilan akhirat, suka ataupun tidak sukanya orang
tersebut. Karena pengadilan Allah adalah seadil-adilnya pengadilan.
[1] Kronologi Guru Besar IPB Digugat Rp 510 M hingga Munculnya Petisi
Bela Prof Bambang, Ini Faktanya. Kompas. https://regional.kompas.com/read/2018/10/25/16542351/kronologi-guru-besar-ipb-digugat-rp-510-miliar-hingga-munculnya-petisi-bela?page=all.
[2] Febian Pratama Kusumah. 2019. Ekonomi Politik dalam Kebijakan Impor
Beras: Membaca Arah Kebijakan Pemerintah 2014-2019. POLITIKA: Jurnal Ilmu
Politik. Vol 10, No.2.
Komentar