Drama Negara Maju dan Berkembang
Maju? Berkembang? Dahulu ketika saya
SMP, saya dengan ikhlas menghapalkan negara-negara tersebut, yang maju dan yang
berkembang. Lalu saya berpikir dan bermimpi ingin berkontribusi untuk Indonesia
agar suatu saat nanti ia bisa menjadi negara yang maju.
Ketika saya telah menjadi mahasiswa
yang identik dengan pemikirannya membuat saya akhirnya berpikir, siapa
sebenarnya yang membuat standar suatu negara bisa dikatakan maju atau
berkembang?
Apakah benar indikator negara maju
cukup dengan indikator pendapatan per kapita, keadaan ekonomi, jumlah kekayaan
atau perkembangan teknologi di suatu negara tersebut? Seperti apa penghitungan
pendapatan per kapita itu? Apakah bisa hanya diwakili dengan orang-orang
tertentu saja?
Bagaimana dengan kekayaan yang hanya
dikuasai oleh segelintir orang? Bukankah tidak adil jika yang kekayaannya
hingga bertriliun-triliunan dirata-ratakan dengan yang kekayaannya hanya jutaan
rupiah lalu dijadikan sebagai hasil dari pendapatan per kapita?
Pertanyaan-pertanyaan ini berseteru
dalam pikiran saya, hingga akhirnya saya mendapatkan kesimpulan bahwa semua
klasifikasi ini telah diatur oleh mereka yang memiliki kekuatan, dimana
kekuasaan suatu negara yang kuat mampu membuat standar itu sendiri, apabila
negara yang lemah tidak dapat memenuhi standar tersebut, maka negara tersebut
dikategorikanlah sebagai negara yang berkembang.
Permainan negara maju tak berhenti
hingga disini, kekuatan mereka yang telah memiliki gelar sebagai “negara maju”
akhirnya menggerakkan mereka yang terkategori sebagai “negara berkembang”. Pertanyaannya,
Apakah ini terindera? Yap, akan terindera oleh mereka yang berpikir.
Dalam perpolitikan dunia, negara super
power membuat FAO (Food Agricultural
Organization), WTO (World Trade
Organization), WHO (World Health
Organization), dan world-world
lainnya yang akhirnya organisasi-organisasi global ini dijadikan sebagai
rujukan.
Pertanyaannya, maka siapa yang
diuntungkan dengan adanya semua organisasi-organisasi ini? Tentunya negara maju
yang memiliki kemampuan modal yang akan lebih berkuasa bukan? Standar mereka
bisa dengan mudah membuat barang mereka menjadi barang konsumsi untuk
negara-negara berkembang, apalagi ketika perang dagang Amerika dan China, yang
memanas sejak tahun 2017 hingga sekarang, korban yang dapat barang impor
melimpah adalah negara berkembang.
Disisi yang lain, negara berkembang tak
berdaya, dimana kekuatan politiknya yang lemah membuatnya menjadi terkulai,
“terima wae” kalau kata bahasa Sunda mah, impor berapapun “jalan” tanpa
mempertimbangkan petani yang untuk bertani saja berhutang terlebih dahulu
kepada bank atau rentenir. Sedangkan untuk melakukan ekspor, negara berkembang
dirumitkan dengan berbagai standar.
Ada hal yang menarik, negara berkembang
ini sangat gencar melakukan ekspor untuk produk-produk sumber daya alamnya. Kita
ambil contoh seperti Indonesia yang mengekspor batu bara, emas, minyak dan
tambang lainnya ke luar negeri, dalam status sumber daya alam yang telah di
privatisasi oleh perusahaan-perusahaan tertentu. Arab Saudi, terkenal pula
sebagai pengekspor minyak terbesar. Tentunya masih ada banyak negara lainnya
yang termanfaatkaan sumber daya alamnya.
Mirisnya, sumberdaya alam mentah yang
diekspor itu kemudian olahannya dimanfaatkan oleh negara-negara berkembang
dengan membeli ke negara-negara maju. Dramanya begitu lucu bukan? Kekayaan alam
punya negara berkembang, kemudian dibeli oleh negara maju dan diolah menjadi
siap pakai. Negara maju pun menjual dengan harga yang lebih mahal, kemudian
harga pun dalam kendali negara maju yang suatu saat dapat mengganggu stabilitas
ekonomi negara berkembang.
Seperti inilah kisah dari negara
berkembang, namun bahasan ini belum selesai, lantas apa hubungannya gelar
“maju” dan “berkembang” bagi negara-negara muslim? Apabila kita definisikan
maka negara kaum muslimin adalah negara yang dahulu pernah dalam kekuasaan
peradaban Islam.
Pertanyaan ini akan relate dengan, mengapa mayoritas negara-negara muslim yang menjadi negara berkembang?
Padahal dari sisi kekayaan alam, negara-negara muslim ini memiliki kekayaan
alam yang melimpah.
Jangan salah, negara-negara muslim
bahkan sekelas negara-negara muslim di Afrika atau negara Arab dan sekitarnya
miskin sumber daya karena wilayahnya yang kering. Faktanya, tanah-tanah yang
kering tersebut memiliki kekayaan tambang yang luar biasa di bawah tanahnya.
Bahkan smartphone, laptop dan
teknologi-teknologi yang kita pakai tersusun dari Kobalt yang melimpah di
negara-negara yang ada di benua Afrika. Sayangnya penambangan Kobalt ini juga
sangat memiriskan, karena mengeksploitasi anak-anak secara besar-besaran.[1]
Benua
Afrika kaya dengan kekayaan alam yang tersebar di 54 negara. Sierra Leone dan
Botswana terkenal akan hasil tambang berlian. Nikel dan uranium yang berlimpah
dapat ditemui di tanah Burundi, aluminium dan gas di Guinea dan Mozambique,
lalu emas di Burkina Faso dan Benin.
Lima dari 30 negara penghasil minyak
terbesar di dunia juga ada di Afrika dan 30 persen dari kandungan sumber daya
mineral yang ada di muka bumi juga ditemukan di benua hitam ini.[2]
Baiklah, setidaknya gambaran akan negara maju dan berkembang
harus saya jelaskan terlebih dahulu sebelum menjelaskan mengenai kondisi pertanian
dari negara-negara muslim, karena secara sumber daya, negara-negara muslim secara
umum memiliki tanah bertani yang subur, setiap daerah memiliki potensi yang
mumpuni untuk komoditas tertentu. Seperti itulah Allah menakdirkan kekayaan
alam bagi umat muslim, belum lagi jika kita melihat potensi wilayah secara
geografi. Bahkan daerah segersang Palestina dapat menumbuhkan anggur dengan
subur.
Tetapi… dalam impelementasinya, sumber
daya yang Allah limpahkan kepada negara-negara kaum muslimin tak hasilkan
keberkahan, justru kerusakaan dari tangan-tangan yang penuh keserakahan. Automatisasi
jebakan yang telah tersistemkan ini juga terjadi pada pertanian. Sebagaimana
penjelasan mengenai adanya kesenjangan yang nyata antara negara maju dan negara
berkembang.
[1] CBS News Finds Chilidren Mining in Democratic Republic Congo. CBS
News. Youtube Channel. https://www.youtube.com/watch?v=OTEVHykWZqk
[2] Kekayaan Sumber Daya Alam Kongo, Berkah atau Kutukan? Tirto.id. https://tirto.id/kekayaan-sumber-daya-alam-kongo-berkah-atau-kutukan-cFjX.
Komentar