Kebingungan Negara Berkembang
Saat itu, pada tanggal 27 Desember 2019,
sembari mencari bahan penelitian yang sulit untuk dicari yaitu 200 embrio
kelapa yang beumur 11 bulan (sedikit curhat, hehe), akhirnya pada hari itu
saya pun memutuskan untuk menghadiri sebuah diskusi yang khusus membahas
kebijakan yang sedang fenomenal dan menyangkut kebidangan pertanian. Tema
yang diangkat saat itu adalah “Pro dan Kontra Kebijakan Pemaanfaatan Benih
Lobster”. Pembicara kedua menjelaskan teknologi budidaya yang diperlukan untuk lobster. Beliau menyampaikan rekomendasinya untuk melakukan pengelolaan lobster secara berkelanjutan yaitu melalui kelestarian stok dan kesejahteraan masyarakat. Pembicara ketiga menjelaskan dari
segi ekonomi dengan melihat potensi lobster sebagai bagian dari lobster, “kebijakan
untuk mendorong peningkatan ekspor perikanan perlu dilakukan”, nah disini
poin kritis yang akhirnya menimbulkan petanyaan untuk saya. Karena pada sesi tanya jawab yang mengangkat tangan hanya satu, saya pun akhirnya memberanikan diri mengangkat tangan juga untuk bertanya. Begini konteks pertanyaan saya “Mmmm, dengan adanya ekspor kita memang mendapatkan pemasukan kas devisa negara, namun bukankah kita juga perlu memikirkan bagaimana caranya agar lobster ini dapat dijangkau juga oleh masyarakat kita? Bukankah rakyat kita berhak untuk merasakan hasil dari lautnya sendiri?” Suasana ruangan sejenak ramai, saya pun melanjutkan pembicaraan saya, mumpun masih memegang mix, hehe. “Bahkan pak/bu, diruangan ini saja mungkin ada yang belum pernah memakan lobster karena harganya yang bisa untuk berhari-hari makannya mahasiswa”, sontak semua tertawa, merasa mungkin ya kalau belum pernah makan lobster, sebenarnya saya juga belum pernah makan. Hehe. Lantas berlanjutlah kedalam suatu pertanyaan, “Bagaimana tanggapan pembicara mendengar petanyaan saya?”, pembicara pun membenarkan apa yang saya katakan “makan lobster itu memang bikin pusing, pusing untuk mikirin bayarnya” (Semua peserta kemudian tertawa kembali). Moderator kemudian melanjutkan dengan mengungkapkan bahwa pertanyaan saya butuh untuk dicari jawabannya “Hari ini kita memang menghadapi sebuah fenomena dimana kita mengeluarkan sesuatu yang berharga untuk kita, mungkin ini menjadi PR juga untuk para intelektual ya, bagaimana caranya agar dapat menghasilkan lobster yang juga dapat dijangkau oleh masyarakat lokal”. |
Kisah diatas adalah sedikit kisah dari
negeri “berkembang” yang sejatinya berada dalam sebuah kebingungan, apakah
harus melakukan ekspor untuk menaikkan devisa negara, atau justru harus
mengorbankan devisa negara yang akan dihasilkan dengan mengkonsumsi lobster itu
sendiri oleh rakyat?, sehingga rakyat dapat merasakan kekayaan alam mereka
sendiri serta mendapatkan gizi yang tinggi.
Tanpa disadari sistem kapitalisme yang
berlandaskan pada kemampuan modal
berupaya untuk membuat negara berkembang-berkembang berada dalam
kebingungan, bahkan tidak jarang
pilihan-pilihan yang diberikan bukan lagi membuat bingung, namun lebih tepatnya
melemahkan untuk menerima apa adanya pada sesuatu yang sebenarnya salah.
Di Indonesia, dalam peraturan
Undang-Undang Dasar (UUD) nya (Pada saat penulis menulis ini, UUD yang
diterapkan merupakan peraturan yang dibuat oleh manusia), terdapat hukum yang
tertera pada pasal 33 ayat 3 yang mengungkapkan bahwa air, bumi, udara adalah
milik negara yang harus dikelola untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Faktanya, ibaratkan panggang jauh dari
api, peraturan itu hanyalah seperti ungkapan manis yang tidak mampu untuk terealisasi.
Kekayaan alam yang seharusnya dikelola oleh negara nyatanya di privatisasi oleh
individu dan perusahaan-perusahaan lokal maupun asing. Kebingungan yang
biasanya dilontarkan dalam menghadapi kasus privatisasi ini adalah “Mending
mana, dikelola dengan privatisasi dan membuka lapangan pekerjaan untuk
masyarakat atau terbengkalai dan tidak memberikan manfaat apapun?”
Pertanyaan diatas pernah dilontarkan
kepada saya ketika saya masih tingkat pertama di masa-masa perkuliahan, waktu
itu saya bersitegas dengan prinsip saya bahwa privatisasi sumber daya alam
adalah sesuatu hal yang buruk, dan saya tidak setuju. Ketika pertanyaan itu
diberikan kepada saya, saya menjawab dengan, “untuk pertanyaan saudari *****,
maaf saya tidak bisa memilih diantara pertanyaan tersebut, dua pilihan tersebut
adalah dua pilihan yang sejatinya adalah salah, dan bagiamana mungkin saya
harus memilih yang salah diantara keduanya? saya punya pilihan yang diluar dari
plihan itu yaitu pengelolaan yang optimal oleh suatu negara bukan dengan privatisasi
lalu manfaat dari sumber daya alam tersebut ditujukan untuk kesejahteraan
rakyat”,
Contoh beberapa kasus pada bidang pertanian
yang berakhir pada “Kebingungan” antara lain adalah:
1.
Memilih menjadi petani untuk dapat
menyediakan pangan bagi rakyat dan harus siap untuk menanggung resiko rugi,
atau kerja dengan kontrak di perusahaan yang siap dibayar dengan gaji tinggi
tanpa ada resiko rugi?
2.
Memilih untuk melindungi hutan sebagai
paru-paru bumi atau membiarkan rakyat hidup tanpa kertas, tisu dan kayu untuk
infrastruktur?
3.
Membakar hutan untuk meningkatkan
devisa negara dengan menanam sawit atau membiarkan hutan tersebut tidak
berpenghasilan?
4. Mengekspor produk-produk pertanian
dengan kualitas nomor satu atau menjadikannya sebagai konsumsi lokal untuk
memperbaiki gizi maasyarakat?
5.
Mengimpor tepung atau membiarkan rakyat
kelaparan tanpa roti, dan bangkrutnya sentra-sentra gorengan dan pengolah
tepung?
6. Mengimpor bawang putih atau membiarkan
makanan rakyat tak bercita rasa bawang putih?
7. Menerapkan teknologi pertanian 4.0
super canggih berbasis data dengan tenaga kerja yang semakin dikurangi dan
modal yang semakin sedikit atau bertani konvensional yang dapat menghidupi
kebutuhan hidup banyak petani namun membutuhkan modal yang besar?
Dan masih banyak lagi pilihan-pilihan
membingungkan yang dapat kita temukan dimana pada saat yang bersamaan kita dihadapkan
pada dua pilihan yang sulit padahal sebenarnya ada jawaban yang lain (di luar
pilihan tersebut). Setidaknya ini adalah pengantar bagi anda sebagai pembaca
untuk lebih menguras otak dalam memahami kondisi negeri ini.
Kebingungan ini tidak menutup
kemungkinan terjadi pada negara-negara lain yang berstatus “berkembang”, lalu
apakah negara maju tak megalami? Tentu mereka mengalami, karena globalisasi dan
liberalisasi yang sebebas-bebasnya akan selalu menjebak negara yang berada dalam
pelukannya merasakan kebingungan. Hanya saja
kebingungan yang dimiliki oleh negara maju tidak secara dominan oleh ekonomi
namun moralitas dan keadaan sosial.
Contoh kebingungan pada negara maju
secara mendasar adalah kabingungan unuk maju dalam teknologi namun disatu sisi lain
mengorbankan moralitas karena konsep kebebasan yang dimiliki. Itulah mengapa di
negara-negara maju tingkat depopulasi begitu besar baik karena penyebab bunuh
diri hingga kepada rendahnya keinginan wanita di negara maju untuk menikah dan
meneruskan keturunan.
Fatalnya adalah, karena pilihan-pilihan
yang “membingungkan” ini, maka negara-negara berkembang dan tidak menutup
kemungkinan negara maju juga mengambil pilihan yang salah dan berusaha
memperjuangkan pilihan yang salah tersebut, akibat terakhirnya adalah
“kerusakan” yang sulit untuk diperbaiki dan bahkan mustahil untuk diperbaiki
kecuali dengan revolusi besar-besaran.
Bagaimana solusinya? Tidak saya
jelaskan disini, namun akan saya jelaskan pada bab selanjutnya yang InsyaaAllah
akan lebih menggambarkan kepada Anda mengenai akar masalah adanya
permasalahan-permasalahan diatas, dan bagaimana Islam sebagai suatu ideologi
mampu menyelesaikannya.
Komentar