Carbon Trading, Strategi Melegalkan Kerusakan Bumi?
Berawal dari Global Warming (pemanasan global)
yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam
mendorong adanya Protokol Kyoto pada tahun 1997. Perjanjian internasional yang dihasilkan dari negara-negara maju
penghasil karbon dalam jumlah yang banyak melalui industrialisasi yang
dilakukan. Negara-negara tersebut menggagas Protokol Kyoto sebagai upaya
pengurangan pemanasan bumi secara global. Protokol tersebut menawarkan tiga
bentuk mekanisme lentur yakni:
1. Kyoto Flexible Mechanism,
yaitu Emission Trading atau carbon trading, negara maju dapat saling
mempertukarkan kewajiban penurunan emisi mereka;
2. Joint Implementation (JI)
antar negara maju sehingga dapat
melakukan upaya penurunan emisinya melalui proyek penurunan emisi yang
dilaksanakan di negara maju lain;
3. Clean Development Mechanism
(CDM). Dalam posisi ini, negara maju boleh melakukan kegiatan proyek penurunan
emisi di negara berkembang. Karbon yang direduksi dari pelaksanaan proyek CDM
disertifikasi dalam Certified Emission Reduction (CER). Sertifikat ini oleh
negara berkembang kemudian dijadikan
sebagai bukti klaim pembayaran kepada negara maju sebagai pelaksanaan komitmen
penurunan emisi mereka. Inilah yang disebut sebagai carbon trading atau perdagangan karbon.
Perdagangan karbon digadang dapat menjadi upaya
menekan emisi karbon dioksida (CO2), terutama dari hasil pembakaran bahan bakar
fosil berupa minyak, gas, dan batu bara. Menjadi pertanyaan menggelitik untuk
kita, apakah adanya perdagangan karbon ini merupakan solusi dalam memperbaiki
bumi yang telah tercemari oleh emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia?
atau justru hanya ilusi yang terlihat manis untuk menenangkan hati? Analisa mendalam
diperlukan melalui pendekatan ilmiah yang berbasis kepada ilmu pengetahuan
serta analisis secara global ekonomi yang tidak kalah besar pengaruhnya
dalam mendorong terlahirnya suatu
kebijakan.
Berdasarkan laporan yang dilakukan oleh
Sindonews, Menteri Perdagangan RI Muhammad Lutfi saat menghadiri pertemuan
Dewan Menteri OECD (Organisation for Economic Co-operation and
Development/OECD) Ministerial Council Meeting) di Paris, Prancis, pada
5-6 Oktober 2021. Dalam sesi pleno Building A Green Future, Mendag menyampaikan
Indonesia berpotensi sebagai negara superpower dunia, lewat perdagangan karbon.
“Indonesia berpotensi menjadi
carbon offset superpower di dunia melalui perdagangan karbon sukarela secara
internasional. Namun, kerja sama internasional diperlukan untuk mendorong
kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta dalam rangka pengembangan
kerangka regulasi kebijakan yang efektif,” ujar Mendag Lutfi, pada keterangan
tertulis yang diterima MNC Portal, Jumat (8/10/2021)[1]. “Carbon offset” merupakan
tindakan meniadakan emisi CO2 yang dihasilkan tempat dengan tindakan
pengurangan emisi di tempat lain.
Bagaimana dengan potensi hutan Indonesia? Total
luas lahan, pada tahun 2019 yakni 94,1 juta hektar, mengalami penurunan yang
sangat signifikan. Pada tahun 2015, total luas lahan kehutanan Indonesia
sebanyak 128 juta ha (rilis laporan Direktorat Jenderal Planologi
Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)[2].
Artinya, dalam kurun waktu 4 tahun, deforestasi yang terjadi sebesar 33,9 juta
hektar. Luas deforestasi tertinggi terjadi di kelas hutan sekunder,
yaitu 162,8 ribu ha, di mana 55,7% atau 90,6 ribu ha berada di dalam kawasan
hutan dan sisanya seluas 72,2 ribu ha atau 44,3% berada di luar kawasan hutan. [3]
Selaras dengan hal tersebut, petahana melihat
potensi kekayaan hutan yang memiliki peluang besar untuk dilakukannya
komersialisasi melalui kebijakan karbon trading. Sayangnya tindakan ini belum
disertai dengan landasan yang kuat berdasarkan analisis ilmiah mapun politik
internasional. Ekonomi adalah aspek yang penting bagi suatu negara, namun
menghalalkan segala cara termasuk dengan mengkomersialkan sumber daya alam
bukanlah sebagai tindakan yang tepat, sebab kadaulatan dan kemandirian adalah
bergaining position yang seharusnya dimiliki oleh suatu negara dalam
mempertahankan keutuhan wilayah dan kekuatan negaranya.
Globalisasi sistemik nan brutal yang menyebar
disertai dengan semakin cepatnya perkembangan informasi dan teknologi pada satu
sisi berdampak buruk pada lingkungan. Industri lokomotif negara maju membuat
padat dan sesaknya kota-kota negara berkembang, industri fashion negara maju
menyasar negara berkembang sebagai umpan termenggiurkan. Seluruh industri yang
berkembang, bertahan dengan listrik yang dihasilkan dari batu bara dunia serta
minyak bumi, semuanya dihasilkan dari pembakaran senyawa hidrokarbon. Senyawa
hidrokarbon ini apakah hanya berhenti pada terhidupkannya listrik dan
berjalannya industri? Nyatanya tidak sesimpel itu, produksi kalor secara
terbuka disatu sisi menghadirkan kabar buruk dengan dihasilkannya emisi karbon
dioksida.
Karbon dioksida
adalah makanan yang sangat lezat untuk tumbuhan, yang pada akhirnya akan
digunakan untuk memproduksi energi dan oksigen untuk kehidupan manusia. Lalu
bagaimana dengan karbon dioksida untuk
atmosfer bumi? Karbon dioksida yang tidak mampu diserap oleh tumbuhan akan
berkumpul diatmosfer. Penumpukan ini, akhirnya menyebabkan suhu di bumi
meningkat.
Ambisi ekspansi industri dalam membentuk
kekuatan negara sayangnya berbuah kerusakan lingkungan. Cara berpikir keliru
yang diadopsi dengan mengatakan bahwa “kebutuhan manusia itu tidak terbatas”
membuahkan pembenaran untuk terus memproduksi tanpa henti serta tanpa
pengukuran teliti. Jika kita berpikir lagi, maka sejatinya yang tidak terbatas
itu adalah keinginan, bukan kebutuhan.
[1] https://ekbis.sindonews.com/read/563200/34/lewat-perdagangan-karbon-indonesia-berpotensi-jadi-superpower-dunia-1633698652
[2] https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/luas-hutan-di-indonesia-1482633530
[3] Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Hutan dan Deforestasi Indonesia Tahun 2019. http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/2435
Komentar